Oleh: M. Tauhed Supratman
Pendahuluan
“Sastra Madura telah mati, sebab sastra ini tak lagi
mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-pen.) Buku-buku Berbahasa Madura pun tak
laku jual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda,
sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia.” demikian kata
Suripan Sadihutomo (Kompas, 2 September 2002).
Suatu hal yang wajar dan tidak dapat dipungkiri lagi serta
mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa dalam kehidupan sehari-hari sering
terlontar perkataan yang mengatakan bahwa sastra Madura telah mati, sastra
Madura ambruk total, sastra Madura hanya tidur panjang, sastra Madura mulai
loyo, sastra Madura kehilangan roh, dan sebagainya. Mengapa? Mengenai masalah
tersebut Ghazali (2000:2) mengatakan bahwa bahasa daerah yang ada di Indonesia
pada umumnya mengalami tekanan, baik secara internal maupun eksternal. Dosen
Universitas Negeri Malang asal Pamekasan tersebut menambahkan bahwa salah satu
penyebabnya adalah adanya kebijakan pemerintah, yang meletakkan bahasa daerah,
sastra daerah, serta seni budaya daerah dalam posisi terjepit, sehingga
beberapa bahasa daerah dan begitu pula sastranya semakin berkurang penuturnya
dan akhirnya, mati dan sebagian lagi terus tumbuh dan berkembang dengan kondisi
yang memprihatinkan.
Perlu penulis katakan, berbagai upaya untuk menjawab
masalah-masalah di atas, sebenarnya sering kali diadakan diskusi-diskusi atau
seminar-seminar untuk mencari jalan keluarnya. Tetapi, sayangnya di dalam
forum-forum seperti itu isinya hanya membicarakan masalah-masalah yang itu-itu
saja, seperti ratapan masa depan sastra Madura yang suram dan sebagainya.
Bahkan dalam seminar bahasa Madura yang diadakan oleh Balai Bahasa Surabaya
tanggal 22-23 Nopember 2005, tidak menyentuh tentang sastra Madura itu sendiri.
Memang memprihatinkan. Dan penulis bisa mengatakan bahwa itu merupakan langkah
pasif-statis. Dengan kata lain, langkah-langkah tersebut hanya melihat satu
sisi saja, yaitu keberadaan sastra Madura yang memprihatinkan tanpa dibarengi
usaha dan kesadaran untuk lebih memajukan sastra Madura. Lalu apa jadinya kalau
sastra Madura hanya di “ratapi dan ditangisi?” Ini bisa diibaratkan bahwa
sastra Madura sedang tidur panjang dan menderita sakit. Apakah benar sastra
Madura sedang tidur panjang atau menderita sakit? Tidak! Sama sekali tidak!
Sastra Madura tetapa sehat wal-afiat.
Sementara itu, Halifaturrahman (2000:1) mengatakan, realitas
menunjukkan, sastra Madura mengalami keterputusan dengan generasinya. Padahal
kebudayaan dalam arti yang sebenarnya hanya dapat diandalkan pada kehidupan
manusia yang melahirkan kebudayaan itu. Demikian halnya dengan pernyataan
penyair nasional asal Madura, H.D. Zawawi Imron, juga pernah mengatakan, bahwa
generasi kini sedikit sekali atau bisa dikatakan tidak ada yang berminat
menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh muda asal Madura,
seperti: Abdul Hadi W. M., Mohammad Fudoli Zaini dan beberapa nama lagi
(mungkin juga Pak Zawawi sendiri---pen.) lebih suka menulis karya sastra dalam
bahasa Indonesia. “Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang
meng-Indonesia-kan diri”, tambah Zawawi Imron dalam dialog sastra Madura, 30
April 2000, di Kampus Universitas Madura.
Sedangkan menurut pengamatan penulis, apa yang dilontarkan
Halifaturrahman dan H.D. Zawawi Imron tersebut memang ada benarnya. Ini adalah
kenyataan yang bisa kita lihat. Maka dari itu kita (para pecinta sastra Madura)
lebih-lebih para pengarangnya harus mau mawas diri atau instrospeksi diri.
Selanjutnya, kita berusaha agar masalah-masalah atau suara-suara sumbang yang
menyelimuti dan membelenggu sastra Madura secepatnya dapat disingkirkan dan
diatasi. Ini semua demi sehat dan majunya sastra Madura di dalam kiprahnya.
Untuk meningkatkan potensi sastra daerah (baca: Madura),
menurut pakar folklor dari Universitas
Negeri Jember, Ayu Sutarto (dalam Kidung, 2003:22), mengatakan, paling tidak
ada empat variabel yang harus menjadi sasaran perhatian dan penanganannya, yakni:
(1)
Sastrawan Madura; yang dimaksud sastrawan Madura di sini
adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Madura sebagai wahana untuk
menciptakan karya-karya sastranya;
(2)
Pemerintah daerah;
(3)
Masyarakat Madura sebagai pemilik dan pendukung, termasuk di
dalamnya pengelola stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah yang
terdapat di Madura; dan
(4)
Karya sastra Madura, termasuk sastra lisan.
Keempat variabel tersebut merupakan kunci hidup-matinya
sastra Madura. Keempatnya merupakan komponen yang saling mendukung, tidak bisa
salah satu darinya ditiadakan atau tidak disertakan.
Perlu Peran Media Massa
Untuk meningkatkan potensi sastra Madura, menurut pendapat
penulis, sangat terkait dengan kesediaan media massa untuk memberikan ruang dan
waktu untuk produk budaya yang satu ini. Mengapa media massa? Karena media
massa merupakan produk peradaban yang mempunyai jangkauan dan pasar yang sangat
luas. Dalam era reformasi sekarang ini, pertumbuhan media massa, baik cetak
maupun elektronik sangat luar biasa, para pendukung dan pemilik sastra Madura
seharusnya memanfaatkan peluang ini. Yang dimaksud media massa di sini bukan
hanya surat kabar, majalah, radio, televisi, tetapi juga produk teknologi yang
mutakhir, yakni internet.
Faruk (dalam Sutarto, 2003:27) dalam ceramah sastranya yang
bertajuk “Situasi Kritik Sastra Dewasa Ini”, juga menyinggung peran
strategis media massa. Menurutnya, sekarang ini media massa yang memiliki
jangkauan luas, khususnya surat kabar, telah mengambil lahan kritik dan
sosialisasi sastra yang dulu hanya dimiliki oleh majalah kebudayaan dan buku.
Koran-koran baik yang terbit di pusat maupun daerah telah mengambil alih posisi
majalah kebudayaan sebagai basis kehidupan sastra dan kritik sastra.
Penyebabnya menurut Faruk, media massa memiliki jaringan dan kontribusi yang luas
dan faktor ekonomis. Di samping memiliki jangkauan luas, koran-koran memberi
honorarium yang besar.
Sayangnya, seperti yang telah ditegaskan oleh Budi Darma
(dalam Sutarto, 2003:28) minat media
massa terhadap pembinaan dan pemasyarakatan sastra Indonesia atau daerah tidak
banyak. Media massa sering kali menolak untuk memuat karya sastra, masalah
sastra, dan berita mengenai sastra karena alasan-alasan ekonomis.
Kekurangpedulian media massa terhadap sastra mau tidak mau
membantu menciptakan sikap apatis terhadap pengajaran sastra.
Berkaitan dengan kebangkitan potensi sastra Madura menurut
Sutarto, perlu kiranya dilaku-kan reformasi kegiatan sastra Madura yang terkait
dengan peran strategis media massa dan pemanfaatan teknologi informasi. Seperti
yang telah ditegaskan di atas, media massa yang memiliki jangkauan dan pasar yang luas merupakan kunci utama
kelangsungan hidup sastra Madura. Mengapa? Karena media massa memiliki paling
tidak empat peran sentral, yaitu:
(1)
Mengokohkan dan mengukuhkan keberadaan sastra Madura yang
merupakan ekspresi budaya pemiliknya (kelompok etnik atau komunitas tertentu,
baca: Madura);
(2)
Memperkenalkan dan memberdayakan sastrawan Madura dalam forum
lokal, nasional, regional, dan internasional;
(3)
Memperkenalkan tradisi dan nilai-nilai budaya Madura yang
produktif kepada masyarakat luas, baik masyarakat pendukungnya maupun
masyarakat di luar pendukungnya; dan
(4)
Menggali dan memanfaatkan potensi yang terkandung dalam
sastra Madura, terutama yang terkait dengan kearifan-kearifan lokal yang dapat
digunakan sebagai virus mental untuk membangun kehidupan yang arif, hubungan
antar-manusia yang penuh pengertian, etos kerja dan etos belajar. (2003:28)
Peran Lembaga Pendidikan
Apresiasi bahasa dan sastra Madura di sekolah kurang bergairah,
kurang gizi dan mlempem. Dan kalau pun pembelajaran bahasa dan sastra
Madura tetap berlangsung, kiranya tidak bersifat apresiatif melainkan bersifat
informatif, berupa teks book dari guru kepada muridnya karena tuntutan
kurikulum. Kondisi semacam inilah yang membuat lemahnya pembelajaran bahasa dan
sastra Madura di sekolah. Terutama di sekolah menengah (SMP dan SMA). Terlebih
lagi di SD karena apresiasi bahasa dan sastra Madura memang masih bertaraf
pengenalan.
Mengingat siswa adalah anak-anak
yang masih dipandang awam dalam bahasa dan sastra Madura, maka posisi guru
menjadi pemegang peranan. Guru jangan mengajar hanya bersifat teks book,
melainkan perlu juga diikuti suasana kreatif
dengan meningkatkan apresiasinya. Materi pengajarannya jangan hanya
berupa ejaan bahasa daerah atau periodisasi sastra Madura, tetapi perlu ada
penciptaan suasana mengajar secara inovatif, yang lebih menarik siswanya.
Rasanya sudah klise atau ketinggalan kereta manakala siswa seusia SMP atau
SMA memperoleh pembelajaran bahasa dan
sastra Madura hanya berupa ejaan atau periodisasi sastra, sejarah sastra, dan
tokoh-tokoh sastra Madura. Walaupun sebagai materi hal itu tidak bisa ditinggalkan oleh guru
dalam rangka proses awal pengenalan terhadap bahasa dan sastra Madura tersebut.
Apalagi buku pegangan guru dan buku murid bidang bahasa dan sastra memang
demikian adanya. Padahal, tidak kalah pentingnya – sebagai upaya kian lekatnya
anatara bahasa dan sastra Madura dengan siswa – adalah terwujudnya apresiasi
bahasa dan sastra Madura secara kreatif. Dengan begitu, anak didik akan mampu
menggunakan bahasa atau mencipta puisi berbahasa daerah yang baik, mampu
membaca puisi berbahasa Madura secara baik dan tepat intonasinya, dan mampu
menulis prosa seperti cerita pendek dan essai dari bahasa daerah tersebut.
Tampaknya, kelemahan pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah
terletak pada guru dan murid. Sebab, seharusnya guru bahasa dan sastra Madura
dan murid-muridnya sama-sama mempunyai kometmen dan minat terhadap bahasa
dan sastra Madura. Bahkan sebagai guru
bahasa dan sastra Madura, ia harus kaya pengalaman, punya minat besar terhadap
bahasa dan sastra Madura, dan selalu kreatif terhadap tugasnya sebagai guru bahasa
dan sastra Madura.
Guru, ketika berdiri di depan kelas
tidak perlu malu, takut atau minder bila hendak memberi contoh menggunakan
bahasa Madura yang baik dan benar atau membaca puisi berbahasa Madura secara
baik dengan ekspresi, intonasi dan akting guna menguatkan atau menghidupkan
maknanya. Bahkan, metode inilah yang barangkali akan memancing siswa untuk
berani tampil di depan rekan sekelasnya.
Langkah awal dalam hal pengenalan bahasa dan sastra Madura secara lebih
luas adalah, memanfatkan buku perpustakaan sebagai sumber pembelajaran. Melalui
sistem ini, siswa dapat digiatkan untuk membaca dan menelaah salah satu buku
sastra berbahasa Madura yang paling diminati. Tahap berikutnya, siswa dilatih
mengungkapkan secara tertulis hasil bacaannya (meresensi).
Kita merasa prihatin bahwa mayoritas guru bahasa dan sastra Madura,
rata-rata mengajar secara verbalistis. Kini, harus segera diwujudkan mengubah
cara mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya, dengan metode
merangsang minat siswa. Misalnya mencipta karya sastra berbahasa Madura. Karya
yang baik dapat dimuat di majalah dinding di sekolah bersangkutan.
Melalui forum pemajangan hasil karya sastra anak ke majalah dinding, akan
tercipta suasana kompetitif sesama siswa. Dengan demikian, majalah diding bukan sekedar dibuat bila akan ada lomba
saja. Ia harus menjadi media ekspresi siswa sekaligus sebagai wahana untuk
menyalurkan aspirasinya masing-masing secara bebas dan bertanggung jawab.
Bahkan, lewat kegiatan majalah dinding ini, siswa belajar menangani masalah
penerbitan. Dengan bimbingan guru yang berpengalaman, siswa yang menjadi
pengurus majalah dinding dapat menyusun lay out, penyuntingan, editorial
dan lain-lain.
Manfaat pembelajaran bahasa dan sastra Madura tentu bukan untuk hari ini saja.
Juga untuk hari esok yang kini belum kita ketahui. Dan guru perlu meyakinkan
kepada siswanya bila karya sastra sebagai karya kreatif, juga bisa menjadi
sumber penghasilan bila sastra hendak dijadikan profesi atau ladang bisnis.
Kita bisa menunjuk beberapa pengarang sastra daerah (sastrawan berbahasa Jawa)
yang karyanya telah laku di pasar dan namanya selalu dikenal masyarakat
pembacanya, misalnya mBak Trinil, Widodo Basuki, Suparto Brata, Djayus Pete,
Bonari Nabonenar, dan sebagainya. (Supratman, 2005)
Kesadaran Baru
Suatu hal yang sangat mendasar apabila sastra Madura
dikatakan belum memasyarakat. Memasyarakat di sini dimaksudkan telah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, menyangkut kehidupan
masing-masing individu maupun kehidupan kelompok. Tidak berlebihan memang,
kalau dikatakan bahwa sastra Madura (baca: sastra Madura modern) belum
memasyarakat. Masih banyak kelompok etnis Madura yang belum mengetahui
sastranya. Lebih-lebih lagi orang Madura yang berdomisili di luar pulau Madura.
Menurut persepsi penulis, mengenai bagaimana keberadaan
sastra Madura di tengah-tengah masyarakat Madura sekarang ini, memang belum
sesuai dengan apa yang diharapkan. Jalannya masih tertatih-tatih. Hal ini
disebabkan minimnya penikmat atau pembaca terhadap karya sastra Madura.
Meskipun ada itu terbatas yang sudah gandrung atau cinta. Sebagai contoh yang
mudah saja, ketika diadakan lomba adungngeng (mendongeng) berbahasa
Madura ini bisa dipastikan penontonnya sa-ngat sedikit. Berbeda dengan kalau
diadakan pementasan musik dangdut, seperti Inul misalnya, pasti penontonnya
akan ramai.
Kalau kita simak lebih jauh lagi ditengah-tengah masyarakat,
semua itu terbawa oleh asumsi yang keliru dan salah kaprah dari sebagian
masyarakat. Kebanyakan mereka menganggap bahwa sastra termasuk didalamnya
sastra Madura itu tidak penting dan tidak bermanfaat. Maka dari itu asumsi yang
keliru dan salah kaprah tersebut harus diluruskan dan dibenarkan. Bagaimanakah,
caranya? Sebelum sampai pada jawabannya, kiranya perlu penulis katakan, bahwa
karaya sastra Madura hanya merupakan konsumsi bagi kalangan menengah ke bawah.
Dan sebagian besar tersebar di pedesaan. Jadi tidak mengherankan kalau sastra
Madura disebut sastra desa.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya di masyarakat
(baik di desa maupun di kota) perlu ditumbuhkembangkan adanya kesadran baru
terhadap karuya sastra Madura. Dengan kata lain diadakan suatu usaha yang
mengarah kepada pema-syarakatan sastra Madura. Seharusnya usaha tersebut
dilandasi dengan sistem dan metode yang tepat kalau ingin berhasil.
Apabila di masyarakat Madura sudah tumbuh kesadaran baru
terhadap karya sastra Madura dengan demikian pembaca atau penikmatnya semakin
lama semakin bertambah. Dan pada akhirnya akan menjadikan sastra Madura bisa
tumbuh subur dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya.
Penutup
Penulis mengira sudah saatnya sastra Madura bangun dan
bangkit. Kalau demikian apakah sastra Madura itu tidur? Tidak! Ini mengandung
maksudagar jalan dan perkembangannya semakin lancar dan subur. Juga diharapakan
sastra Madura bisa tahan bantingan dan
tahan uji menghadapi segala situasi dan arus perkembangan zaman.
Disaamping para pengarang selaku kreator dituntut benar-benar
mempunyai kreativitas tinggi yang nantinya bisa memberi corak, model dan nuansa
baru bagi perkembangan sastra Madura, juga masyarakat Madura sebagai konsumen
hasil karya sastra sepenuhnya bisa memberikan andil besar terhadap perkembangan
sastra Madura.
Kalau
semua itu sudah berjalan mulus tidak aneh lagi apabila sastra Madura nantinya
bisa hidup dengan subur dan berkembang, syukur apabila nanti dapat meraih zaman
kejayaan. Itulah yang kita harapkan. Sekali lagi perlu penulis tegaskan bahwa
sekaranlah saatnya bagi sastra Madura untuk bangkit, sehingga tidak terdengar
lagi ratapan dan tangis serta suara-suara sumbang yang ditujukan kepada sastra
Madura. Semoga...!
DAFTAR
PUSTAKA
Ghazali, A. Syukur. 2000. Beberapa
Pemikiran Tentang Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya. Makalah
“Dialog Sehari Seni Budaya Madura”. 28 Oktober 2000. Makalah Seminar.
Tidak Diterbitkan.
Halifaturahman. 2000. Sastra Madura
“Dimanakah Kini?”. Makalah “Dialog Sehari Seni Budaya Madura”
30 Oktober 2000. Makalah Seminar Tidak Diterbitkan
Imron. D. Zawawi (dalam Haub de Jonge,
ed). 1985. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Jakarta:Rajawali Pers.
Kompas Cyber Media. 2002. Menghidupkan
Kembali Sastra Madura. Jakarta: Kompas Edisi Senin, 2 September 2002.
Nabonenar,
Bonari. 2002. Sastra Campursari Kumpulan Puisi: Osing, Madura,
Surabaya-an, dan Mataram-an. Surabaya: Taman Budaya Jawa Timur.
Supratman, M. Tauhed. 2005. “Sastra
Madura, Anak Tiri Pembelajaran?” Kompas Jawa Timur, 26 Nopember 2005
Sutarto, Ayu. 2003. “Kebangkitan
Sastra Daerah dan Media Massa” dalam Kidung, VII/April 2003. Surabaya:
Dewan Kesenian Jawa Timur.