Sabtu, 06 April 2013

Sastra Madura, Anak Tiri Pembelajaran?




Oleh: M. Tauhed Supratman

Apresiasi bahasa dan sastra Madura di sekolah kurang bergairah, kurang gizi dan mlempem. Dan kalau pun pembelajaran bahasa dan sastra Madura tetap berlangsung, kiranya tidak bersifat apresiatif melainkan bersifat informatif, berupa teks book dari guru kepada muridnya karena tuntutan kurikulum. Kondisi semacam inilah yang membuat lemahnya pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah. Terutama di sekolah menengah (SMP dan SMA). Terlebih lagi di SD karena apresiasi bahasa dan sastra Madura memang masih bertaraf pengenalan.
 Mengingat siswa adalah anak-anak yang masih dipandang awam dalam bahasa dan sastra Madura, maka posisi guru menjadi pemegang peranan. Guru jangan mengajar hanya bersifat teks book, melainkan perlu juga diikuti suasana kreatif  dengan meningkatkan apresiasinya. Materi pengajarannya jangan hanya berupa ejaan bahasa daerah atau periodisasi sastra Madura, tetapi perlu ada penciptaan suasana mengajar secara inovatif, yang lebih menarik siswanya.
Rasanya sudah klise atau ketinggalan kereta manakala siswa seusia SMP atau SMA memperoleh pembelajaran  bahasa dan sastra Madura hanya berupa ejaan atau periodisasi sastra, sejarah sastra, dan tokoh-tokoh sastra Madura. Walaupun sebagai materi  hal itu tidak bisa ditinggalkan oleh guru dalam rangka proses awal pengenalan terhadap bahasa dan sastra Madura tersebut. Apalagi buku pegangan guru dan buku murid bidang bahasa dan sastra memang demikian adanya. Padahal, tidak kalah pentingnya – sebagai upaya kian lekatnya anatara bahasa dan sastra Madura dengan siswa – adalah terwujudnya apresiasi bahasa dan sastra Madura secara kreatif.  
Dengan begitu, anak didik akan mampu menggunakan bahasa atau mencipta puisi berbahasa daerah yang baik, mampu membaca puisi berbahasa Madura secara baik dan tepat intonasinya, dan mampu menulis prosa seperti cerita pendek dan essai dari bahasa daerah tersebut.
Tampaknya, kelemahan pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah terletak pada guru dan murid. Sebab, seharusnya guru bahasa dan sastra Madura dan murid-muridnya sama-sama mempunyai kometmen dan minat terhadap bahasa dan  sastra Madura. Bahkan sebagai guru bahasa dan sastra Madura, ia harus kaya pengalaman, punya minat besar terhadap bahasa dan sastra Madura, dan selalu kreatif terhadap tugasnya sebagai guru bahasa dan sastra Madura.
Guru, ketika  berdiri di depan kelas tidak perlu malu, takut atau minder bila hendak memberi contoh menggunakan bahasa Madura yang baik dan benar atau membaca puisi berbahasa Madura secara baik dengan ekspresi, intonasi dan akting guna menguatkan atau menghidupkan maknanya. Bahkan, metode inilah yang barangkali akan memancing siswa untuk berani tampil di depan rekan sekelasnya.
Langkah awal dalam hal pengenalan bahasa dan sastra Madura secara lebih luas adalah, memanfatkan buku perpustakaan sebagai sumber pembelajaran. Melalui sistem ini, siswa dapat digiatkan untuk membaca dan menelaah salah satu buku sastra berbahasa Madura yang paling diminati. Tahap berikutnya, siswa dilatih mengungkapkan secara tertulis hasil bacaannya (meresensi).
Kita merasa prihatin bahwa mayoritas guru bahasa dan sastra Madura, rata-rata mengajar secara verbalistis. Kini, harus segera diwujudkan mengubah cara mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya, dengan metode merangsang minat siswa. Misalnya mencipta karya sastra berbahasa Madura. Karya yang baik dapat dimuat di majalah dinding di sekolah bersangkutan.
Melalui forum pemajangan hasil karya sastra anak ke majalah dinding, akan tercipta suasana kompetitif sesama siswa. Dengan demikian, majalah diding  bukan sekedar dibuat bila akan ada lomba saja. Ia harus menjadi media ekspresi siswa sekaligus sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasinya masing-masing secara bebas dan bertanggung jawab. Bahkan, lewat kegiatan majalah dinding ini, siswa belajar menangani masalah penerbitan. Dengan bimbingan guru yang berpengalaman, siswa yang menjadi pengurus majalah dinding dapat menyusun lay out, penyuntingan, editorial dan lain-lain.
Manfaat pembelajaran bahasa dan sastra Madura tentu bukan untuk hari ini saja. Juga untuk hari esok yang kini belum kita ketahui. Dan guru perlu meyakinkan kepada siswanya bila karya sastra sebagai karya kreatif, juga bisa menjadi sumber penghasilan bila sastra hendak dijadikan profesi atau ladang bisnis. Kita bisa menunjuk beberapa pengarang sastra daerah (sastrawan berbahasa Jawa) yang karyanya telah laku di pasar dan namanya selalu dikenal masyarakat pembacanya, misalnya mBak Trinil, Widodo Basuki, Suparto Brata, Djayus Pete, Bonari Nabonenar, dan sebagainya.

Kompas, 26 Nopember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar