Oleh: M. Tauhed Supratman
Apresiasi bahasa dan sastra Madura di sekolah kurang
bergairah, kurang gizi dan mlempem. Dan kalau pun pembelajaran bahasa
dan sastra Madura tetap berlangsung, kiranya tidak bersifat apresiatif
melainkan bersifat informatif, berupa teks book dari guru kepada
muridnya karena tuntutan kurikulum. Kondisi semacam inilah yang membuat
lemahnya pembelajaran bahasa dan sastra Madura di sekolah. Terutama di sekolah
menengah (SMP dan SMA). Terlebih lagi di SD karena apresiasi bahasa dan sastra
Madura memang masih bertaraf pengenalan.
Mengingat
siswa adalah anak-anak yang masih dipandang awam dalam bahasa dan sastra
Madura, maka posisi guru menjadi pemegang peranan. Guru jangan mengajar hanya
bersifat teks book, melainkan perlu juga diikuti suasana kreatif dengan meningkatkan apresiasinya. Materi
pengajarannya jangan hanya berupa ejaan bahasa daerah atau periodisasi sastra
Madura, tetapi perlu ada penciptaan suasana mengajar secara inovatif, yang
lebih menarik siswanya.
Rasanya sudah klise atau ketinggalan
kereta manakala siswa seusia SMP atau SMA memperoleh pembelajaran bahasa dan sastra Madura hanya berupa ejaan
atau periodisasi sastra, sejarah sastra, dan tokoh-tokoh sastra Madura.
Walaupun sebagai materi hal itu tidak
bisa ditinggalkan oleh guru dalam rangka proses awal pengenalan terhadap bahasa
dan sastra Madura tersebut. Apalagi buku pegangan guru dan buku murid bidang
bahasa dan sastra memang demikian adanya. Padahal, tidak kalah pentingnya –
sebagai upaya kian lekatnya anatara bahasa dan sastra Madura dengan siswa –
adalah terwujudnya apresiasi bahasa dan sastra Madura secara kreatif.
Dengan begitu, anak didik akan mampu menggunakan
bahasa atau mencipta puisi berbahasa daerah yang baik, mampu membaca puisi
berbahasa Madura secara baik dan tepat intonasinya, dan mampu menulis prosa
seperti cerita pendek dan essai dari bahasa daerah tersebut.
Tampaknya, kelemahan pembelajaran bahasa dan
sastra Madura di sekolah terletak pada guru dan murid. Sebab, seharusnya guru
bahasa dan sastra Madura dan murid-muridnya sama-sama mempunyai kometmen dan
minat terhadap bahasa dan sastra Madura.
Bahkan sebagai guru bahasa dan sastra Madura, ia harus kaya pengalaman, punya
minat besar terhadap bahasa dan sastra Madura, dan selalu kreatif terhadap
tugasnya sebagai guru bahasa dan sastra Madura.
Guru, ketika
berdiri di depan kelas tidak perlu malu, takut atau minder bila hendak
memberi contoh menggunakan bahasa Madura yang baik dan benar atau membaca puisi
berbahasa Madura secara baik dengan ekspresi, intonasi dan akting guna
menguatkan atau menghidupkan maknanya. Bahkan, metode inilah yang barangkali
akan memancing siswa untuk berani tampil di depan rekan sekelasnya.
Langkah awal dalam hal pengenalan bahasa dan
sastra Madura secara lebih luas adalah, memanfatkan buku perpustakaan sebagai
sumber pembelajaran. Melalui sistem ini, siswa dapat digiatkan untuk membaca
dan menelaah salah satu buku sastra berbahasa Madura yang paling diminati.
Tahap berikutnya, siswa dilatih mengungkapkan secara tertulis hasil bacaannya
(meresensi).
Kita merasa prihatin bahwa mayoritas guru bahasa
dan sastra Madura, rata-rata mengajar secara verbalistis. Kini, harus segera
diwujudkan mengubah cara mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap anak
didiknya, dengan metode merangsang minat siswa. Misalnya mencipta karya sastra
berbahasa Madura. Karya yang baik dapat dimuat di majalah dinding di sekolah
bersangkutan.
Melalui forum pemajangan hasil karya sastra anak
ke majalah dinding, akan tercipta suasana kompetitif sesama siswa. Dengan
demikian, majalah diding bukan sekedar
dibuat bila akan ada lomba saja. Ia harus menjadi media ekspresi siswa
sekaligus sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasinya masing-masing secara
bebas dan bertanggung jawab. Bahkan, lewat kegiatan majalah dinding ini, siswa
belajar menangani masalah penerbitan. Dengan bimbingan guru yang berpengalaman,
siswa yang menjadi pengurus majalah dinding dapat menyusun lay out, penyuntingan,
editorial dan lain-lain.
Manfaat pembelajaran bahasa dan sastra Madura
tentu bukan untuk hari ini saja. Juga untuk hari esok yang kini belum kita
ketahui. Dan guru perlu meyakinkan kepada siswanya bila karya sastra sebagai
karya kreatif, juga bisa menjadi sumber penghasilan bila sastra hendak
dijadikan profesi atau ladang bisnis. Kita bisa menunjuk beberapa pengarang
sastra daerah (sastrawan berbahasa Jawa) yang karyanya telah laku di pasar dan
namanya selalu dikenal masyarakat pembacanya, misalnya mBak Trinil, Widodo
Basuki, Suparto Brata, Djayus Pete, Bonari Nabonenar, dan sebagainya.
Kompas, 26 Nopember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar