Sabtu, 06 April 2013

Sajak-Sajak M. Tauhed Supratman



SONNET TENTANG  LUKA

biarlah angin terbangkan kagumku
pada mawar pulang
ke rahim dongeng bunga-bunga

kudekap kisah bersama duri dan merahmu
sadar, mabuk wangi
bersemi asa di tajam durimu

kueja merahmu dipeluk taman nestapa
goresan durimu kuak tajam duka
mekar rinduku dipercikan merahmu.


                                          Pamekasan, 12 Februari 2005


MENGEJA MERAH MAWARMU

Nisan itu menyalakan wangi mawar
di ranting-ranting peradaban
menjelma tetes darah
di jari manis Sulaiha
dan lukisan kepedihan
di dinding nurani Ya’kub

Aku memburu mekar mawar
dan tajam duri-duri itu
mengeja merahmu, kupetik duka
mengeja merahmu, kupungut nestapa
mengeja merahmu, menyibak goresan purba
mengeja merahmu, menguak pusara nestapa


                                                         Surabaya, Valentine Day 2005


   MENGIRIM MAWAR


mengirim mawar ke tamanmu
tersesat di rimba
kota
tak pernah kupahami
mendongeng jalan
setapak di punggung waktu
yang asing kulalui
hari itu

                              Pamekasan, 20 Februari 2005






DI JALAN TANPA CAHAYA

aku resah tatap sorot matamu yang jalang
terbayang, kau robek dadaku, campakkan
petualangan yang telah usai
goresan-goresan purba redup sudah
tiada mungkin kupajang lukisan dewa
di dinding nurani
jalan di hadapan berkelok
penuh onak dan debu
aku tersesat di jalan tanpa cahaya
kakiku patah. Tak kuasa melangkah dan asing
di lindung bayang. Pohonan mencibir nista
setiap jumpa. Kegalauan membentang
dan tak henti mendera

                                                Pamekasan, 25 Februari 2005



MAWAR
    


menatap mawar dari dekat
tersenyum polos di taman penuh cahaya
bersolek hijau daun-daun purba
seekor lebah hinggap di dahan
bersenda-gurau dengan duri-duri
ilalang mengepung
butir embun membasah kelopak
fajar menyapa duka

aku terkenang sebuah taman
mungkin dalam mimpi abadi
mawar merekah dalam hayal
goresan duri-duri iringi kekaguman

capung kecil terbang
dari delapan penjuru mata angin
jangan sentuh mawar di taman
bunga pengagum kesetiaan
tambatan jiwa menepis resah
kekaguman awal dan akhir pencarian diri
tempat tumpahkan asa musafir papa
                                         
Surabaya, 27 Februari 2005


HATI IBU
                 

hati ibu adalah samudera
tambatan kasih dalam keluasan cinta
tak pernah banjir oleh guyuran hujan
tak pernah mendidih oleh terik matahari

hati ibu adalah samudera
dermaga perahu yang lekang oleh panas matahari
dermaga perahu yang lapuk oleh guyuran hujan
tumpahan hamparan asa dan duka nestapa


hati ibu adalah samudera
tempat kita cuci derita
tempat kita alirkan gelisah
karena di sanalah dunia tanpa noda

hati ibu adalah samudera
tak surut, jadi pengembaraan jiwa
pelabuhan kehidupan kita


                                                      Pamekasan, 8 Maret 2005




DI TAJAM DURI MAWAR

ibumu begitu bijak
berkisah mawar dan para musyafir tua
menyeretku peluk duka
di tajam duri mawar itu

                              Pamekasan, 7 Maret 2005


DONGENG MAWAR

seorang musyafir telah lumpuh sebelah kakinya
tergores duri-duri mawar saat jelajah taman

sejak itu ia hidup di rumpun ilalang
menjadi batu purba
bersahabat dengan bisu semak-semak
sorot matanya  bercerita tentang bunga-bunga di kota tua

penuh warna-warni yang lama beku


                                          Pamekasan, 13 Maret 2005



GELISAH BERPELUK DALAM SENYUMAN

gelisah memanggilku pulang ke rahim dongengmu
tak kupahami isyarat senyuman
kecuali desah nafas yang membadai.
Pengembaraan tanpa akhir ini, mengajakku
bercengkrama tentang keterasingan.
Namun senyum itu mekar sudah.
Aku percik embun di ajal duri mawar
yang abadi.

kuresapi semusim wangi mawar dalam diri
aku bukan apa-apa di taman cahaya
isyarat senyum itu menyadarkanku
di mabuk merahmu yang kesekian.
di kelokan nurani kota ketika hari-hari usai.

gelisah berpeluk dalam senyuman.

                                          Pamekasan, 15 Maret 2005


KUTULIS NAMAMU

kutulis namamu di tirai gerimis
air mata senja ramah melukis
di dinding kemarau yang meresah

burung-burung gereja berteduh dalam risaunya

kutatap nisan itu. pusara ketulusan petualang
tapi, apakah kematian itu iklas bercengkrama

sedang engkau dalam cakarnya

kutulis namamu kembali; saat tangis mengalun
nada cinta dan pisah

siapa pun memaklumi
saat senyum mengantar kesendirian.

                              Pamekasan, 18 Maret 2005




FEBRUARI YANG RAPUH
                                   

aku sadar, hadirmu dalam patahan hidupku
seperti gerimis membasah tanah gersang
ingatanku bercengkrama denganmu
di padang kerontang
perasaanku sebisu karang
melukis fajar
membelai senja
jadi nyanyian ombak: di mana angin
pernah menyejukkan

gelap malam cahayamu membentang
langkahku tertatih
hasratku tak sempat kubaca
karena kau tak mengundangku
asaku melesat menikam burung-burung

di senja nurani februari yang rapuh
kutulis segala yang membentang di pelupuk mata:
jas safari, dasi, sepatu lusuh, sandal jepit
mungkin kau pernah merenung, mengimpikan
kebahagian abadi, igaumu
mematahkan kelopak mawar
            ---karena persemaian yang usang


senyummu meruncing di ujung gerimis
resahmu segalau ombak
tertegun, menatap bayang
karena tak sempat lagi berucap
pada malam resahku yang kesekian
tawamu jauh mengalun
mengalun di detak awan
kau tawarkan dan segera melenggang
seperti penari di atas panggung

                                    Pamekasan, 24 Maret 2005


GERIMIS MERUNCING DI DADAMU

gerimis meruncing di dadamu,
berkilauan pada tanah merahku

masih kau sisakan air mata
antara debu di jalan itu. entah,
mungkin ada yang kau ingat
dan menggigil dalam rindu.

tapi kutemukan kau antara sampah-sampah
mawar: masih segar, dan tak letih
merekah. sampai senja enggan
menyapa.

                              Pamekasan, 29 Maret 2005



GERHANA DILIAR GERIMIS


apa yang pantas kutulis dijantung resahmu
rembulan gerhana diliar gerimis
gelap bentangkan setia pada diamku
aku hanya berlompatan
dilentik alis matamu
patahkan ranting-ranting
gelisah dikerling sepi
yang tak kau sakralkan
ditelanjang tarian mabuk nurani
nyanyian musyafir gila

                                                           

                                                            Surabaya-Pamekasan, 3 April 2005


NYANYIAN GERIMIS
                       
nyanyian gerimis itu
bentangkan rindu padamu: Kekasih
saat kau kisahkan cinta ilalang
yang ikhlas bertasbih

aku hanyut
aku hanyut di nyanyian gerimis itu: Kekasih
hingga tak kupahami diri sendiri
dan kugali wajahmu di kelepak gerimis

kunikmati rindu
di nyanyian gerimis itu: Kekasih
mencumbuimu diranting senja yang lelah.


                                                Pamekasan, 7 April 2005


NYANYIAN GERIMIS 2

nyanyian gerimis, sunyi senyap
membasah mawar rindu: Kekesaih

aku pun rintik seperti gerimis
di ajal durimu.



                                                Pamekasan, 26 April 2005


TETESAN AIR MATA IBU
                                               

Bentangan gelisahmu kuresapi lewat 
airmata ibu mengalir
seperti gerimis tak reda di ujung senja
tetes airmata ibu menguak episode-episode jiwa
dan tangismu padamkan rembulan. Ada lukisan
wajahmu di sana
mencemooh kepapaan dan kebodohanku

Aku sadar, sekali lagi aku sadar
tetes air mata ibu tayangkan seruas rahasia
tentang resah jiwa yang tak usai,
tentang langkahmu
di tajam duri-duri mawar
di kelepak gerimis senja
terhempas di celah-celah debu peradaban. Pudar
pada gemerlap cahaya bintang

Tangismu, sembilu kasih abadi
tangismu, sembilu cinta sejati
di segelas anggur mimpi
berguguran di pelaminan jiwa

Tetesan airmata ibu menguak episode-episode jiwa
di wajah itu mengambang
gemericik air mata ibu
air mata duka keabadian
air mata pilu kearifan.

                                    Pamekasan 28 April 2005



CERMIN AIRMATA

Di cermin airmata itu
cerita sekeping hati
beku di taman impian
sebuah mawar merekah: suara hati
mengalun
di rumpun ilalang. Dan catatan sejarah
abadikan gelisah dan keteguhan
di mimpiku pagi berdebu

Kuhayati setiap sorot mata
berkilau, bentangkan kepapaan
dan senyum polosmu
yang menyanjung sepenggal kesetiaan

Di semak-semak jiwa, setiap desir
nafasmu
adalah percikan cahaya duka
ketika seorang ibu melepas harap di pelukan
akulah bocah itu. Digendong angan ibu
dan cermin airmata itu menetes
membasah sajadah yang kesekian  
menjadi manik-manik tasbihnya.


                                          Pamekasan, 5 Mei 2005  


GERIMIS CINTA

membujuk gerimis
diresah malamku
merenda gelisah
segala biarkan membeku

derita ajali
dan alunan cinta abadi
tinggal degup di nadi langit
melebur di lembahmu


                                                Gubung Bambu, 19 Juli 2005



DI RAHIM DONGENG

kujemput kau di rahim dongeng
seperti sms-mu senja nurani

tak kutemukan kau di rahim dongeng itu
hanya penggalan bayangmu
di tajam duri mawar mengering

kucari kau di rahim dongeng
sebab di sms itu kau ingin
mengajakku berkelana di liar gerimis
menghitung hari kematianku
yang kesekian


                              Surabaya-Pamekasan, 13 September 2005


DIRAHIM DONGENG 2

di gelap bayangmu, aku belajar berkata
di terang mimpimu, aku belajar bicara
tapi kau sembunyi
dirahim dongeng
kau kirim mawar
untuk simpan wangi
mekar kagumku di ajal durimu
                                                                        Pamekasan, 15 Nopember 2005



PURNAMA DI BALIK TIRAI


purnama bujuk gerimis
diresah malam, merenda gelisahku
suara hati tinggal degup di nadi langit
lebur diriku di balik tiraimu
                              Gubuk Bambu, 16 Nopember 2005


PURNAMA DI CENDANA HOTEL
(Kenangan Pelatihan Dosen se Jawa-Bali)


purnama di teori room
dan selintas senyum menguak pintu hati
tanpa untai kata
lukis wajahmu dikedalaman jiwa
yang sulit dipahami

purnama di teori room
dan selintas senyum penyejuk gersang nurani
mengalirkan diam pada khusukku
inikah akhir kehampaan jiwa?

purnama di teori room
menghilang kini, tapi kau dekat di hati
bersama mentari jemput rembulan

                                 Hotel Cendana, Surabaya, 8-12 Desember 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar