SONNET
TENTANG LUKA
biarlah angin terbangkan kagumku
pada mawar pulang
ke rahim dongeng bunga-bunga
kudekap kisah bersama duri dan merahmu
sadar, mabuk wangi
bersemi asa di tajam durimu
kueja merahmu dipeluk taman nestapa
goresan durimu kuak tajam duka
mekar rinduku dipercikan merahmu.
Pamekasan,
12 Februari 2005
MENGEJA
MERAH MAWARMU
Nisan itu menyalakan wangi mawar
di ranting-ranting peradaban
menjelma tetes darah
di jari manis Sulaiha
dan lukisan kepedihan
di dinding nurani Ya’kub
Aku memburu mekar mawar
dan tajam duri-duri itu
mengeja merahmu, kupetik duka
mengeja merahmu, kupungut nestapa
mengeja merahmu, menyibak goresan purba
mengeja merahmu, menguak pusara nestapa
Surabaya,
Valentine Day 2005
MENGIRIM
MAWAR
mengirim mawar ke tamanmu
tersesat di rimba
kota
tak pernah kupahami
mendongeng jalan
setapak di punggung waktu
yang asing kulalui
hari itu
Pamekasan,
20 Februari 2005
DI JALAN TANPA CAHAYA
aku resah tatap
sorot matamu yang jalang
terbayang, kau
robek dadaku, campakkan
petualangan yang
telah usai
goresan-goresan
purba redup sudah
tiada mungkin
kupajang lukisan dewa
di dinding
nurani
jalan di hadapan
berkelok
penuh onak dan
debu
aku tersesat di
jalan tanpa cahaya
kakiku patah.
Tak kuasa melangkah dan asing
di lindung
bayang. Pohonan mencibir nista
setiap jumpa. Kegalauan
membentang
dan tak henti
mendera
Pamekasan,
25 Februari 2005
MAWAR
tersenyum polos di taman penuh cahaya
bersolek hijau daun-daun purba
seekor lebah hinggap di dahan
bersenda-gurau dengan duri-duri
ilalang mengepung
butir embun membasah kelopak
fajar menyapa duka
aku terkenang sebuah taman
mungkin dalam mimpi abadi
mawar merekah dalam hayal
goresan duri-duri iringi kekaguman
capung kecil terbang
dari delapan penjuru mata angin
jangan sentuh mawar di taman
bunga pengagum kesetiaan
tambatan jiwa menepis resah
kekaguman awal dan akhir pencarian diri
tempat tumpahkan asa musafir papa
Surabaya, 27 Februari 2005
HATI IBU
hati ibu adalah
samudera
tambatan kasih
dalam keluasan cinta
tak pernah
banjir oleh guyuran hujan
tak pernah
mendidih oleh terik matahari
hati ibu adalah
samudera
dermaga perahu
yang lekang oleh panas matahari
dermaga perahu
yang lapuk oleh guyuran hujan
tumpahan
hamparan asa dan duka nestapa
hati ibu adalah
samudera
tempat kita cuci
derita
tempat kita
alirkan gelisah
karena di
sanalah dunia tanpa noda
hati ibu adalah
samudera
tak surut, jadi
pengembaraan jiwa
pelabuhan
kehidupan kita
Pamekasan,
8 Maret 2005
DI TAJAM DURI MAWAR
ibumu begitu
bijak
berkisah mawar
dan para musyafir tua
menyeretku peluk
duka
di tajam duri
mawar itu
Pamekasan, 7 Maret
2005
DONGENG MAWAR
seorang musyafir
telah lumpuh sebelah kakinya
tergores
duri-duri mawar saat jelajah taman
sejak itu ia
hidup di rumpun ilalang
menjadi batu
purba
bersahabat
dengan bisu semak-semak
sorot
matanya bercerita tentang bunga-bunga di
kota tua
penuh
warna-warni yang lama beku
Pamekasan,
13 Maret 2005
GELISAH BERPELUK DALAM SENYUMAN
gelisah
memanggilku pulang ke rahim dongengmu
tak kupahami
isyarat senyuman
kecuali desah
nafas yang membadai.
Pengembaraan
tanpa akhir ini, mengajakku
bercengkrama
tentang keterasingan.
Namun senyum itu
mekar sudah.
Aku percik embun
di ajal duri mawar
yang abadi.
kuresapi semusim
wangi mawar dalam diri
aku bukan
apa-apa di taman cahaya
isyarat senyum
itu menyadarkanku
di mabuk merahmu
yang kesekian.
di kelokan
nurani kota
ketika hari-hari usai.
gelisah berpeluk dalam senyuman.
Pamekasan,
15 Maret 2005
KUTULIS NAMAMU
kutulis namamu di tirai gerimis
air mata senja ramah melukis
di dinding kemarau yang meresah
burung-burung gereja berteduh dalam risaunya
kutatap nisan itu. pusara ketulusan petualang
tapi, apakah kematian itu iklas bercengkrama
sedang engkau dalam cakarnya
kutulis namamu kembali; saat tangis mengalun
nada cinta dan pisah
siapa pun memaklumi
saat senyum mengantar kesendirian.
Pamekasan,
18 Maret 2005
FEBRUARI YANG RAPUH
Pamekasan, 24 Maret 2005
GERIMIS
MERUNCING DI DADAMU
gerimis meruncing di dadamu,
berkilauan pada tanah merahku
masih kau sisakan air mata
antara debu di jalan itu. entah,
mungkin ada yang kau ingat
dan menggigil dalam rindu.
tapi kutemukan kau antara sampah-sampah
mawar: masih segar, dan tak letih
merekah. sampai senja enggan
menyapa.
Pamekasan,
29 Maret 2005
GERHANA DILIAR GERIMIS
apa yang pantas kutulis dijantung resahmu
rembulan gerhana diliar gerimis
gelap bentangkan setia pada diamku
aku hanya berlompatan
dilentik alis matamu
patahkan ranting-ranting
gelisah dikerling sepi
yang tak kau sakralkan
ditelanjang tarian mabuk nurani
nyanyian musyafir gila
Surabaya-Pamekasan,
3 April 2005
NYANYIAN
GERIMIS
nyanyian
gerimis itu
bentangkan
rindu padamu: Kekasih
saat kau
kisahkan cinta ilalang
yang ikhlas
bertasbih
aku hanyut
aku hanyut di
nyanyian gerimis itu: Kekasih
hingga tak
kupahami diri sendiri
dan kugali
wajahmu di kelepak gerimis
kunikmati
rindu
di nyanyian
gerimis itu: Kekasih
mencumbuimu
diranting senja yang lelah.
Pamekasan,
7 April 2005
NYANYIAN GERIMIS 2
nyanyian
gerimis, sunyi senyap
membasah
mawar rindu: Kekesaih
aku pun
rintik seperti gerimis
di ajal
durimu.
Pamekasan,
26 April 2005
TETESAN AIR MATA IBU
Bentangan gelisahmu kuresapi lewat
airmata ibu mengalir
seperti gerimis tak reda di ujung senja
tetes airmata ibu menguak episode-episode
jiwa
dan tangismu padamkan rembulan. Ada
lukisan
wajahmu di sana
mencemooh kepapaan dan kebodohanku
Aku sadar, sekali lagi aku sadar
tetes air mata ibu tayangkan seruas rahasia
tentang resah jiwa yang tak usai,
tentang langkahmu
di tajam duri-duri mawar
di kelepak gerimis senja
terhempas di celah-celah debu peradaban.
Pudar
pada gemerlap cahaya bintang
Tangismu, sembilu kasih abadi
tangismu, sembilu cinta sejati
di segelas anggur mimpi
berguguran di pelaminan jiwa
Tetesan airmata ibu menguak
episode-episode jiwa
di wajah itu mengambang
gemericik air mata ibu
air mata duka keabadian
air mata pilu kearifan.
Pamekasan 28
April 2005
CERMIN AIRMATA
Di cermin airmata itu
cerita sekeping hati
beku di taman impian
sebuah mawar merekah: suara hati
mengalun
di rumpun ilalang. Dan catatan sejarah
abadikan gelisah dan keteguhan
di mimpiku pagi berdebu
Kuhayati setiap sorot mata
berkilau, bentangkan kepapaan
dan senyum polosmu
yang menyanjung sepenggal kesetiaan
Di semak-semak jiwa, setiap desir
nafasmu
adalah percikan cahaya duka
ketika seorang ibu melepas harap di
pelukan
akulah bocah itu. Digendong angan ibu
dan cermin airmata itu menetes
membasah sajadah yang kesekian
menjadi manik-manik tasbihnya.
Pamekasan,
5 Mei 2005
GERIMIS CINTA
membujuk gerimis
diresah malamku
merenda gelisah
segala biarkan membeku
derita ajali
dan alunan cinta abadi
tinggal degup di nadi langit
melebur di lembahmu
Gubung
Bambu, 19 Juli 2005
DI RAHIM DONGENG
kujemput kau di rahim dongeng
seperti sms-mu senja nurani
tak kutemukan kau di rahim dongeng itu
hanya penggalan bayangmu
di tajam duri mawar mengering
kucari kau di rahim dongeng
sebab di sms itu kau ingin
mengajakku berkelana di liar gerimis
menghitung hari kematianku
yang kesekian
Surabaya-Pamekasan,
13 September 2005
DIRAHIM DONGENG 2
di gelap bayangmu, aku belajar berkata
di terang mimpimu, aku belajar bicara
tapi kau sembunyi
dirahim dongeng
kau kirim mawar
untuk simpan wangi
mekar kagumku di ajal durimu
PURNAMA DI BALIK TIRAI
purnama
bujuk gerimis
diresah
malam, merenda gelisahku
suara
hati tinggal degup di nadi langit
lebur
diriku di balik tiraimu
Gubuk Bambu, 16
Nopember 2005
PURNAMA DI CENDANA HOTEL
(Kenangan Pelatihan Dosen se Jawa-Bali)
purnama
di teori room
dan
selintas senyum menguak pintu hati
tanpa
untai kata
lukis
wajahmu dikedalaman jiwa
yang
sulit dipahami
purnama
di teori room
dan
selintas senyum penyejuk gersang nurani
mengalirkan
diam pada khusukku
inikah
akhir kehampaan jiwa?
purnama
di teori room
menghilang
kini, tapi kau dekat di hati
bersama
mentari jemput rembulan
Hotel
Cendana, Surabaya, 8-12 Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar