Oleh: M. Tauhed
Supratman
Mahasiswa Indonesia korban kekerasan, ambisi, dan kekuasaan. Fenomena
konflik antar komponen bangsa muncul ketika kekuasaan totaliter orde baru
runtuh adalah fenomena umum. Tetapi, ada yang khas dari fenomina penyelesaian
politik bergaya “orde baru”, yakni dengan kekerasan. Pembunuhan, teror, dan
pemaksaan merupakan salah satu wajah dingin politik gaya “orde reformasi baru”
sekarang ini. Kita masih ingat peristiwa penembakan mahasiswa Santha Crous di
Dilli, Timor Timur. Pembantaian rakyat Aceh. Penembakan mahasiswa Trisakti.
Penembakan mahasiswa Semanggi yang kemudian dikenal dengan “Tragedi Semanggi”. Pemukulan terhadap
mahasiswa pengunjuk rasa atas vonis bebas Akbar Tandjung. Dan penyerangan
pemukulan oleh polisi terhadap mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Makassar, Sabtu, 1 Mei 2004.
Wajah dingin rezim totaliter
seperti itu sering hanya mengenal satu aturan: zero sum game.
Habis atau menghabisi. Akibatnya, eksistensi manusia didesak menjadi aspek yang
tidak esensial. Manusia dipahami sebagai sepotong instrumen yang ditentukan.
Sepotong instrumen yang harusnya dengan mudah direkayasa: dihilangkan atau
ditimbulkan. Manusia dikorbankan demi terbentangnya impian yang bernama kekuasaan.
Akibatnya, ribuan aktifis
pegiat demokrasi diintimidasi, diteror, dan dibunuh. Ribuan mahasiswa
ditembaki. Dan, harta benda mereka dijarah dan diporak-porandakan. Lebih ngeri
lagi, rakyat Indonesia menjadi “asing” dengan negerinya sendiri.
Semua itu terjadi dalam
komunitas yang telah dikuasai ideologi totaliter. Reformasi telah menjadi
tragedi kemanusiaan yang mengerikan di akhir abad ke-20. Selain itu, reformasi
telah menjadi teater antara keserakahan-kekejaman dan ketidakberdayaan manusia.
Sehingga siapapun yang sempat menontonnya, akan bangkit kemarahanya.
Kata reformasi telah tumbuh
menjadi simbol pembangkit kemarahan setiap manusia Indonesia yang menghitung
eksistensi manusia sebagai unsur yang paling penting. Semua rakyat marah,
kemanusiaan telah diusik dan dinodai. Tetapi mereka semua tidak berdaya.
Dan, reformasi telah
melahirkan ke-kita-an dan ke-kami-an. Semua orang yang merasa terluka oleh
teater reformasi merasa mengumpul
menjadi kita. Kita terluka, kita terancam, kita marah atau kita tidak
bisa terima..........
Semua rakyat yang tersentuh
oleh kebiadaban “kekuasaan” merasa bersatu dalam kami.
“Teater reformasi” cenderung
melahirkan sajak-sajak yang bernafaskan “ke-kita-an” dan “ke-kami-an”. Mereka
lahir didorong oleh dimensi dan suasana kelompok sosial tertentu. Dan, mereka
lahir karena rasa simpati, marah, berpihak atau untuk doa (pinjam istilah
Taufiq Ismail) atas pelanggaran kemanusiaan di Indonesia.
Sudah menjadi “nasib”
sajak-sajak protes sulit menghindar dari rasa keberpihakan (Subagio
Sastrowardojo, l99l). Karena itulah, “hitam-putih” reformasi di Indonesia
banyak diwarnai sajak-sajak protes. Sehingga warna ke-kami-an, ke-kita-an, dan
keberpihakan sangat kental dalam sajak-sajak protes.
W.S. Rendra, misalnya,
menulis: Ya Allah/Di dalam masa yang sulit ini/Di dalam ketenangan/yang beku
dan tegang/di dalam kejenuhan yang bisa meledak menjadi keadaan/aku merasa ada
muslihat/yang tak jelas juntrungnya/Ya, Allah/Aku bersujud
kepada-Mu/Lindungilah anak cucuku//
Atau dalam bait ketiga Rendra menilis: Ya, Allah/Demi ketegasan/
mengambil resiko/ada bangsa
yang dimesinkan/atau dizombiekan/Ada juga yang difosilkan/atau diantikkan/Uang
kertas menjadi topi bagi kepala yang berisi jerami/Reaktor nuklir menjadi
tempat ibadah/di mana bersujud kepala-kepala hampa/ yang disampul bantal
tua/Kemakmuran lebih berharga/dari kesejahteraan/Dan kekuasaan menggantikan
kebenaran/Ya, Allah/Lindungi anak cucu//(dalam Doa Untuk Anak Cucu, Jawa Pos, 3 Mei 1998).
Selain Rendra, Acep Zamzam
Noor, penyair sufistik asal Tasikmalaya juga berbicara tentang reformasi
politik dan kekuasaan dalam sajak-sajaknya. Putra KH. Ilyas Ruchiyat—pimpinan
Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya—itu, menegaskan perhatiannya pada nasib
bangsa yang belum kunjung membaik walaupun telah mabuk oleh reformasi ini.
Ia tidak hanya mempertanyakan arah reformasi dewasa ini, tetapi juga
menyampaikan kritik politik yang cukup tajam lewat sajaknya: Reformasi/Yang
jumlah korbannya/Konon sudah
melebihi revolusi/Ternyata hanya sekedar basa-basi/Sebab tak mampu menghapus korupsi/Apalagi
mengadili para mantan petinggi//
Dalam kumpulan sajak
terbarunya yang juga sangat bernuansa politik, “Dongeng Dari Negeri Sembako”
, dengan gaya parodi, Acep menyindir kebobrokan kekuasaan, parlemen yang
mirip ‘arisan keluarga’, sampai para koruptor yang malah mendapat
jabatan di birokrasi.
Karena reformasi dianggap sepi
Banyak pakar-pakar korupsi
Karena reformasi dianggap sepi
Banyak pakar-pakar korupsi
(Tentunya dari kalangan
birokrasi)
Yang akhirnya terpilih jadi
bupati
Dinamika politik dan
interaksinya dengan dunia kesenian memang akan selalu melahirkan seniman atau
sastrawan yang peduli pada nasib bangsanya. Pergeseran kekuasaan dari Orde Lama
ke Orde Baru melahirkan Taufiq Ismail dan para sastrawan Manifes. Ketika
penguasa kita makin cenderung otoriter dan menindas, lahir Rendra dengan teater
dan sajak-sajak kritik sosialnya yang tajam. Menyusul Emha Ainun Najib yang
didukung kelompok musik Teater Dinasti, kemudian Kiyai Kanjeng. Di dunia teater
dapat disebut juga Nano Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Putu Wijaya, dan
Ikranegara, yang sangat kritis terhadap kekuasaan dan selalu membela rakyat
yang tertindas.(Republika, 14 Oktober 2001).
Selain itu sajak-sajak yang
lahir dalam rangka reformasi tersebut cenderung eksplisit, gamblang, dan penuh
emosi. Menurut Taufiq Ismail, mereka penuh amarah, tetapi lantaran keterbatasan
para penyair, sajaknya dimaksudkan sebagai ”doa”.
Sajak reformasi yang
ditulisnya merupakan kepedulian sastrawan atas nilai kemanusiaan. Juga
pernyataan kebencian atas rezim otoriter, keserakahan, ketidakadilan, korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Lebih dari semua itu merupakan ungkapan ketidakberdayaan
mereka dalam berhadapan dengan realitas sosial, politik, dan ekonomi yang
timpang.
Untuk itu mereka bersedia
“menggeser” prinsip “individualitas” menjadi bersifat alturis. Menuju pembelaan
terhadap kelas-kelas tertentu. Dengan sadar mereka “memperlonggar” keketatan
nilai estetika dan seninya. Disini seniman juga praksis.
Mereka, tampaknya bisa fungsional
diantara profesi kesenimanannya yang cenderung individualistik dan peranan
sosialnya, baik sebagai manusia maupun sebagai seniman.
Penciptaan puisi reformasi
sudah pasti tidak berarti apa-apa bagi Indonesia. Juga, agak kecil bagi elit
kekuasaan negeri ini. Tetapi, bagi bagian dari gelombang kekuatan moral,
kekuatan doa, dan kekuatan kemanusiaan dunia sangat besar sekali artinya.
Realitas kekuatan moral, kekuatan doa, dan kekuatan kemanusiaan,
meskipun “lamban” dalam mengejar realitas kekuatan senjata, ekonomi, dan
otoriter pasti akan sampai juga. Bahkan, di dunia internasional sering menjadi
kekuatan yang cukup diperhitungkan oleh ideologi manusia dunia yang bernama
“ketentraman dan kedamaian”.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar