Sabtu, 06 April 2013

“Teater Reformasi” Indonesia Dalam Puisi




Oleh: M. Tauhed Supratman

Mahasiswa Indonesia korban kekerasan, ambisi, dan kekuasaan. Fenomena konflik antar komponen bangsa muncul ketika kekuasaan totaliter orde baru runtuh adalah fenomena umum. Tetapi, ada yang khas dari fenomina penyelesaian politik bergaya “orde baru”, yakni dengan kekerasan. Pembunuhan, teror, dan pemaksaan merupakan salah satu wajah dingin politik gaya “orde reformasi baru” sekarang ini. Kita masih ingat peristiwa penembakan mahasiswa Santha Crous di Dilli, Timor Timur. Pembantaian rakyat Aceh. Penembakan mahasiswa Trisakti. Penembakan mahasiswa Semanggi yang kemudian dikenal dengan  “Tragedi Semanggi”. Pemukulan terhadap mahasiswa pengunjuk rasa atas vonis bebas Akbar Tandjung. Dan penyerangan pemukulan oleh polisi terhadap mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sabtu, 1 Mei 2004.
Wajah dingin rezim totaliter seperti itu sering hanya mengenal satu aturan: zero sum game. Habis atau menghabisi. Akibatnya, eksistensi manusia didesak menjadi aspek yang tidak esensial. Manusia dipahami sebagai sepotong instrumen yang ditentukan. Sepotong instrumen yang harusnya dengan mudah direkayasa: dihilangkan atau ditimbulkan. Manusia dikorbankan demi terbentangnya  impian yang bernama kekuasaan.
Akibatnya, ribuan aktifis pegiat demokrasi diintimidasi, diteror, dan dibunuh. Ribuan mahasiswa ditembaki. Dan, harta benda mereka dijarah dan diporak-porandakan. Lebih ngeri lagi, rakyat Indonesia menjadi “asing” dengan negerinya sendiri.
Semua itu terjadi dalam komunitas yang telah dikuasai ideologi totaliter. Reformasi telah menjadi tragedi kemanusiaan yang mengerikan di akhir abad ke-20. Selain itu, reformasi telah menjadi teater antara keserakahan-kekejaman dan ketidakberdayaan manusia. Sehingga siapapun yang sempat menontonnya, akan bangkit kemarahanya.
Kata reformasi telah tumbuh menjadi simbol pembangkit kemarahan setiap manusia Indonesia yang menghitung eksistensi manusia sebagai unsur yang paling penting. Semua rakyat marah, kemanusiaan telah diusik dan dinodai. Tetapi mereka semua tidak berdaya.
Dan, reformasi telah melahirkan ke-kita-an dan ke-kami-an. Semua orang yang merasa terluka oleh teater reformasi merasa mengumpul  menjadi kita. Kita terluka, kita terancam, kita marah atau kita tidak bisa terima..........
Semua rakyat yang tersentuh oleh kebiadaban “kekuasaan” merasa bersatu dalam kami.
“Teater reformasi” cenderung melahirkan sajak-sajak yang bernafaskan “ke-kita-an” dan “ke-kami-an”. Mereka lahir didorong oleh dimensi dan suasana kelompok sosial tertentu. Dan, mereka lahir karena rasa simpati, marah, berpihak atau untuk doa (pinjam istilah Taufiq Ismail) atas pelanggaran kemanusiaan di Indonesia.
Sudah menjadi “nasib” sajak-sajak protes sulit menghindar dari rasa keberpihakan (Subagio Sastrowardojo, l99l). Karena itulah, “hitam-putih” reformasi di Indonesia banyak diwarnai sajak-sajak protes. Sehingga warna ke-kami-an, ke-kita-an, dan keberpihakan sangat kental dalam sajak-sajak protes.
W.S. Rendra, misalnya, menulis: Ya Allah/Di dalam masa yang sulit ini/Di dalam ketenangan/yang beku dan tegang/di dalam kejenuhan yang bisa meledak menjadi keadaan/aku merasa ada muslihat/yang tak jelas juntrungnya/Ya, Allah/Aku bersujud kepada-Mu/Lindungilah anak cucuku//
Atau dalam bait ketiga Rendra menilis: Ya, Allah/Demi ketegasan/ mengambil resiko/ada bangsa yang dimesinkan/atau dizombiekan/Ada juga yang difosilkan/atau diantikkan/Uang kertas menjadi topi bagi kepala yang berisi jerami/Reaktor nuklir menjadi tempat ibadah/di mana bersujud kepala-kepala hampa/ yang disampul bantal tua/Kemakmuran lebih berharga/dari kesejahteraan/Dan kekuasaan menggantikan kebenaran/Ya, Allah/Lindungi anak cucu//(dalam Doa Untuk Anak Cucu, Jawa Pos, 3 Mei 1998).
Selain Rendra, Acep Zamzam Noor, penyair sufistik asal Tasikmalaya juga berbicara tentang reformasi politik dan kekuasaan dalam sajak-sajaknya. Putra KH. Ilyas Ruchiyat—pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya—itu, menegaskan perhatiannya pada nasib bangsa yang belum kunjung membaik walaupun telah mabuk oleh reformasi ini.
Ia tidak hanya mempertanyakan arah reformasi dewasa ini, tetapi juga menyampaikan kritik politik yang cukup tajam lewat sajaknya: Reformasi/Yang jumlah korbannya/Konon sudah melebihi revolusi/Ternyata hanya sekedar basa-basi/Sebab tak mampu menghapus korupsi/Apalagi mengadili para mantan petinggi//
Dalam kumpulan sajak terbarunya yang juga sangat bernuansa politik, “Dongeng Dari Negeri Sembako” , dengan gaya parodi, Acep menyindir kebobrokan kekuasaan, parlemen yang mirip ‘arisan keluarga’, sampai para koruptor yang malah mendapat jabatan di birokrasi. 
Karena reformasi dianggap sepi 
Banyak pakar-pakar korupsi
(Tentunya dari kalangan birokrasi)
Yang akhirnya terpilih jadi bupati
Dinamika politik dan interaksinya dengan dunia kesenian memang akan selalu melahirkan seniman atau sastrawan yang peduli pada nasib bangsanya. Pergeseran kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru melahirkan Taufiq Ismail dan para sastrawan Manifes. Ketika penguasa kita makin cenderung otoriter dan menindas, lahir Rendra dengan teater dan sajak-sajak kritik sosialnya yang tajam. Menyusul Emha Ainun Najib yang didukung kelompok musik Teater Dinasti, kemudian Kiyai Kanjeng. Di dunia teater dapat disebut juga Nano Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Putu Wijaya, dan Ikranegara, yang sangat kritis terhadap kekuasaan dan selalu membela rakyat yang tertindas.(Republika, 14 Oktober 2001).
Selain itu sajak-sajak yang lahir dalam rangka reformasi tersebut cenderung eksplisit, gamblang, dan penuh emosi. Menurut Taufiq Ismail, mereka penuh amarah, tetapi lantaran keterbatasan para penyair, sajaknya dimaksudkan sebagai ”doa”.
Sajak reformasi yang ditulisnya merupakan kepedulian sastrawan atas nilai kemanusiaan. Juga pernyataan kebencian atas rezim otoriter, keserakahan, ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lebih dari semua itu merupakan ungkapan ketidakberdayaan mereka dalam berhadapan dengan realitas sosial, politik, dan ekonomi yang timpang.
Untuk itu mereka bersedia “menggeser” prinsip “individualitas” menjadi bersifat alturis. Menuju pembelaan terhadap kelas-kelas tertentu. Dengan sadar mereka “memperlonggar” keketatan nilai estetika dan seninya. Disini seniman juga praksis.
Mereka, tampaknya bisa fungsional diantara profesi kesenimanannya yang cenderung individualistik dan peranan sosialnya, baik sebagai manusia maupun sebagai seniman.
Penciptaan puisi reformasi sudah pasti tidak berarti apa-apa bagi Indonesia. Juga, agak kecil bagi elit kekuasaan negeri ini. Tetapi, bagi bagian dari gelombang kekuatan moral, kekuatan doa, dan kekuatan kemanusiaan dunia sangat besar sekali artinya.
Realitas kekuatan moral, kekuatan doa, dan kekuatan kemanusiaan, meskipun “lamban” dalam mengejar realitas kekuatan senjata, ekonomi, dan otoriter pasti akan sampai juga. Bahkan, di dunia internasional sering menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan oleh ideologi manusia dunia yang bernama “ketentraman dan kedamaian”.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar